Hana, sepupu kecilku hari ini
akan tiba di desa, ia berasal dari kota yang jauh dari pedesaan yaitu “ Kota Merlew ” di kota itulah ia mulai tumbuh besar. Tak
terasa 6tahun telah berlalu dari kejadian yang menegangkan bagi Rosse kakakku.
Hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya, melahirkan seorang anak “Nina,
Nina,…!! Lihat, itu mobil Hana” Rein bersorak kegirangan, aku pun hanya bias
tersenyum melihat tingkahlaku adik bungsuku. Mobil yang dinaiki Rosse dan
rombongannya mendekat perlahan keaarah Rein yang melambaikan tangan. Aku pun
menghampiri Rosse yang baru saja membuka pintu mobilnya diikuti Hana yang
segera terjun. “Bagaimana kabarmu Rosse??” tanyaku seperti biasa, ia membalas
dengan senyum, bersama suaminya George ia melangkah masuk rumah yang sudah ia
huni berpuluh tahun. Rein dan Hana bergandengan mengikuti dari belakan,
senyuman Hana yang tak berubah sejak pertama kali ia datang di desa SunBreight.
Malam telah datang, seperti
layaknya telah tinggal lama Hana duduk di atas balkon bersama Rein bercerita tentang harinya di
kota atau pengalaman yang pernah di rasakan, Rein dan Hana seperti saudara dekat dan sahabat
yang tak terpisahkan. “Hana aku ingin mengajakmu pergi esok hari, kita akan
bertualang??!” sapaku tiba- tiba, “Benarkah bibi!!, apakah Rein ikut??” ia
menampakkan mata yang berbinar, tentu saja aku tak akan bilang Rein tidak ikut,
aku tak ingin Hana menangis karna aku melarang Rein ikut mendampinginya. Dasar,
sahabat kecil yang tak terpisahkan.
Sayangnya keesok harinya Rein tak
dapat ikut, Hana menangis matanya membengkak. “Rein maafkan aku, aku tak bias
menjagamu…hueee..” Hana merasa bersalah “Hana ini karena aku tidak jika ada
lebah yang menyngat pipiku..” Rein tersenyum melihat tingkah Hana yang
berlebihan. Siang telah terik, matahari bersinar sangat terang “Hana, ayo kita
pergi..!” ajakku ingin menghibur, “tapi, bibi.. Rein bagaimana??” Hana tampak
khawatir dan aku hanya tersenyum geli, ku cubit pipi tembemnya. Hana memutuskan
ikut denganku, saat aku berpamitan pergi keluar rumah hana telah tampak segar
dengan rok yang merumbai, sungguh manis.
Hana tampak lelah, tentu saja
kami melewati hutan yang terjal menanjak dsan terus naik ke atas “Bibi kapan
kita sampai” ia mengeluh sudah hampir berpuluh-puluh kali. Hampir semua yang
tampak pada mata biru Hana hanyalah pemandangan yang suram ia tampak ketakutan
memegang erat baju terusan yang kupakai dengan jins. Aku berhenti duduk sejenak
dan mengangkat Hana di atas bebatuan yang tinggi, ia kebingungan mudah di tebak
dari raut wajahnya yang mengerutkan dahinya kearah kanan dan kiri, di lihatnya
sekeliling “ bibi..apa yang kita lakukan disini” “ tutup matamu..buka mulutmu”
buah berry liar kumasukkan kedalam mulut mungilnya “ manis…” pipi Hana merona
“bolehkah aku minta lagi!!”
bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar